Minggu, 30 September 2012

Cerita Horor

Mungkin, aku tahu sebabnya kenapa ada beberapa orang survivor, yang setelah selesai menempuh semua pengobatan, kemudian tidak mau lagi menginjakkan kakinya di rumah sakit untuk kontrol, bahkan untuk hanya sekedar cek darah saja. Mungkin, aku tahu sebabnya (Mungkin lho ya… bisa benar bisa tidak…bukannya sok tahu :) )

Mungkin, sebabnya adalah bahwa mereka tak mau kenangan buruk saat dulu pengobatan, terutama saat kemo, muncul lagi di depan mata. Tidak percaya ? tanyakan saja pada semua pasien poli Tulip di RSUP Sardjito, apa yang mereka rasakan ketika mereka berjalan di selasar yang menuju poli Tulip? Atau mungkin mereka lewat jalan kecil di depan gedung GBST, apa yang mereka rasakan ? Bagaimana perasaan mereka ketika melewati ambang pintu Poli Tulip, ketika berjalan menuju nurse station untuk mendaftar ? Dua kata cukup mewakili : horor sekali. Mereka pasti teringat ketika dulu harus berangkat untuk kemo, lalu bagaimana kondisi fisik setelah seminggu sesudah kemo, ketika harus cek darah dan kontrol lagi, untuk mendapatkan resep leukoken karena kadar leukosit selalu nol koma (aku nih, yang begini), lalu harus suntik leukoken di lengan atas… Bagiku, perasaan ketika kenangan itu dengan begitu hidup  muncul kembali di benakku, sambil aku berjalan menyusuri selasar… hanya dua kata untuk melukiskannya: horor sekali.

OK, mungkin aku sedikit terlalu berlebihan. Tapi aku merasakannya, dan dua orang teman kemo ku juga merasakan demikian. Kami masih sering smsan dan saling curhat. Orang lain tidak mungkin bisa ikut merasakannya dan mungkin bahkan takkan bisa memahami bagaimana mungkin sebuah pengalaman buruk  bisa menyebabkan trauma psikis begitu dalam. Dan menjalani kemoterapi adalah salah satu dari sekian banyak pengalaman buruk yang mungkin ada di muka bumi, yang bisa saja menimpa seseorang  :( . (Oh, tapi tentu saja bukan maksud saya menakut-nakuti lho… Jadi kalau misalnya ada diantara pembaca blog ini yang diminta dokternya untuk menjalani kemoterapi (semoga saja tidak ada, ya), jalani sajalah. Karena bisa jadi setelah menjalani kemoterapi dengan disiplin, anda akan sembuh, seperti saya :) )

Aku cerita tentang ini karena kemarin, tanggal 27 dan 28 September 2012, aku berangkat ke Yogya dalam rangka kontrol enam bulanan, sesuai jadwal. Tanggal 27 hari kamis, aku cek darah di lab patologi klinik, usg dan rontgen di radiologi. Perasaanku biasa saja menjalani semuanya. Ketika usg, aku minta dengan dokter yang perempuan. Dan Mbak residennya baik, ngajak ngobrol, dan terakhir memberitahu bahwa hasil pemeriksaan semuanya bagus. Hasil semua pemeriksaan itu tidak bisa langsung jadi pada hari itu juga. Seperti biasa, aku ambil hasil lab itu esok harinya, difotokopi, lalu mendaftar ke poli tulip.

Pada saat ke poli Tulip itulah… saat berjalan di selasar…  semua kenangan masa lalu itu muncul di depan mata, begitu jelas berkelebat di kepala, kayak di film saja :) . Aku masuk poli sekitar jam 11.00 WIB bersama suamiku dan terheran-heran, karena poli Tulip yang biasanya ramai, tempat duduknya dipenuhi pasien dan hiruk pikuk kesibukan perawat yang mondar-mandir dari ruang kemo ke nurse station, kemarin tampak sepi dan lengang. Hanya ada sekitar 5 orang yang duduk di ruang tunggu, yang sedang menunggui keluarganya yang sedang kemo. Tapi, walau terlihat sepi, aku mendapat nomor antrian 12 untuk menemui dokterku.
Alhamdulillah, hasil labku baik semua, normal semua. Dokter hanya meresepkan obat rutin yang harus kuminum, yaitu tamoplex dan neurodex. Dan seperti biasa, setiap ke poli Tulip aku selalu bertemu dengan salah seorang temanku, entah teman kemo, entah teman radioterapi, walaupun tidak janjian dulu sebelumnya. Dan aku terkejut ketika kemarin menjumpai bu Sulastri, dari Kulon Progo yang dulu radioterapinya bareng aku. Aku dulu pernah ceritakan juga tentang bu Sulastri ini di judul ini : http://failasufah01.wordpress.com/2012/03/08/keep-on-fighting/

Beliau bercerita bahwa setelah mengulang kemo lagi sebanyak empat kali untuk mengusir sel kanker yang menjalar ke livernya, kini dia harus mengulang empat kali lagi, karena sel kankernya telah menjalar ke tulang pinggulnya, dan beberapa waktu lalu beliau sempat tidak bisa berjalan. Kemarin dia kontrol ke dokternya setelah menjalani kemo pertama dari kemo seri ketiganya. Beliau berharap bahwa ini seri kemonya yang terakhir. Beliau cerita bahwa kata dokternya kankernya ganas sekali dan sulit untuk sembuh (kok dokternya tidak memotivasi, malah bilangnya begitu,ya ? Untung dokterku tidak seperti itu) hampir saja beliau tidak mau berobat lagi melanjutkan kemo lagi, karena sudah lelah, sudah putus asa. Tentu saja. Bayangkan. Beliau kemo sudah 6 kali, lalu 4 kali, lalu 4 kali lagi. Padahal setiap kali kemo, berat sekali beliau harus menanggung efeknya, dan juga berapa banyak uang yang beliau keluarkan, karena beliau tidak tercover ASKES. Beliau bukan PNS, dan bukan pula orang tidak mampu sehingga beliau merasa tidak berhak untuk mengurus JAMKESMAS agar mendapat kartu JAMKESMAS. Padahal beliau juga bukan orang yang kaya banget, hanya pedagang tahu yang cukupan. Beliau berkata, untung tahun lalu saya sudah sempat menunaikan ibadah haji. Kalau tidak, entah kapan lagi saya akan bisa….

Aku prihatin sekali mendengar ceritanya. Aku tak bisa berkata banyak. Aku hanya bisa memintanya untuk bersabar. Dan aku katakan bahwa aku akan mendoakannya agar kuat menjalani semuanya. Dan dalam hati aku berdoa, agar beliau bisa sembuh dan agar selamanya aku juga sembuh. Agar aku tidak mengalami seperti apa yang dialami Bu Sulastri, temanku itu. Karena aku takkan sanggup. Aku tak sekuat dia. Semoga enam bulan lagi saat aku cek up lagi, hasilnya akan sama seperti sekarang. Amin.

We Are The Champions

Akhirnya, hiruk pikuk persiapan untuk maju ke Lomba Kompetensi Siswa tingkat provinsi, usai sudah. Setelah di bulan Juni, siswaku yang bernama Jariyah (yang cerdas itu) memenangi lomba yang sama di tingkat kabupaten, maka pada tanggal 19 dan 20 September kemarin dia maju ke tingkat propinsi, yang kali ini diselenggarakan di Semarang (tahun lalu di Pati).

Kami, rombongan sekolah berangkat ke Semarang tanggal 18 September jam 01.00 WIB dinihari. Kami berangkat dengan 3 mobil, terdiri dari siswa dari 5 kompetensi keahlian dan guru pendamping masing-masing. Lima kompetensi keahlian itu adalah; Multi Media maju mata lomba Animation, Akuntansi maju mata lomba Accounting, Administrasi Perkantoran maju ke mata lomba Secretary, Pemasaran   ikut mata lomba Marketing dan Usaha Perjalanan Wisata maju mata lomba Tourist Industry.

Dan sepertinya, kami  semua tidak akan bisa melupakan saat-saat acara malam penutupan LKS itu berlangsung. Malam itu kami datang ke lokasi penutupan LKS, di halaman balai kota Semarang. Kami duduk di tempat yang disediakan, di tenda yang megah, menatap ke panggung yang bermandikan cahaya, dengan puluhan piala yang berderet (piala Juara 1, 2 dan 3 untuk 50 mata lomba). Sebelumnya, ketika acara pengumuman lomba di Unisbank, tempat dilaksanakannya mata lomba Accounting, Secretary dan Marketing, kami hanya tahu bahwa sekolah kami untuk mata lomba Accounting masuk 5 besar, Secretary masuk 10 besar dan Tourist Industry juara 3. Waktu itu aku katakan kepada Jariyah (peserta lomba Accounting) dan Rusmiyatun (peserta yang ikut lomba Secretary) siswa kami itu, bahwa “Jangan khawatir, kalian pasti kebagian piala itu.” Mereka hanya berkata “Amin…semoga ya Bu.”

Dan berikutnya, satu demi satu juara 1 sampai 3 untuk tiap mata lomba pun dibacakan. Panitia membacakan untuk setiap 10 mata lomba sekaligus, sehingga yang maju ke panggung sebanyak 30 orang setiap kalinya. Ketika piala dibagikan, mengalunlah lagu We Are The Champions” by Queen
We are the champions – my friends
And we’ll keep on fighting – till the end -
We are the champions -
We are the champions
No time for losers
‘Cause we are the champions – of the world -





Dan sampailah ketika panitia membacakan juara 1, 2, dan 3 untuk mata lomba Accounting, dimulai dari juara 3… “Jariyah…SMK Negeri 1 Cilacap, Kabupaten Cilacap !” Wow! Juara 3, dari 35 peserta ! “Jariyah..! Selamat ya…!!” kataku. Dan Jariyah, muridku yang cerdas itu, langsung berdiri dan menyalami kami, bapak dan ibu gurunya, sebelum melangkah menuju panggung untuk menerima piala bersama para juara lainnya. Jariyah itu memang muridku yang luar biasa. Setelah 30 orang naik panggung, mengalun lagi lagu Queen itu, ketika piala dibagikan.
We are the champions – my friends
And we’ll keep on fighting – till the end -
We are the champions -
We are the champions
No time for losers
‘Cause we are the champions – of the world -

Dari lima mata lomba yang kami ikuti, Secretary juara harapan 1, Accounting juara 3 dan Tourist Industry juara 3.  Marketing dan Animation belum beruntung. Mungkin tahun depan. Dan bagiku, tahun depan beban terasa akan lebih berat, karena ada target minimal mempertahankan peringkat. Dan itu lebih sulit, daripada meraih peringkat. Tapi bismillah saja, semoga adik kelas Jariyah juga sama cerdasnya dengan Jariyah. Amin… :)

Dan pesanku untuk Jariyah, prestasi itu boleh untuk dibanggakan, tapi bukan untuk disombongkan… Dan tidaklah sama bangga dengan sombong, tapi hati-hati, karena terlalu bangga bisa menjadi sombong… :) Selamat ya Nak… Semoga masa depan cerah menantimu. Amin.. :)

Selasa, 04 September 2012

Welcome September !

And September has come. Bulan dimana aku seharusnya mengulangi lagi prosesi enam bulanan yang harus kujalani, di RSUP Sardjito. USG, cek darah, rontgen, lengkap dengan segala rasa cemas, takut dan harap semoga hasil tes menunjukkan bahwa sel kanker tidak terdeteksi, semoga hasil lab normal semua, yang berarti bahwa sementara aku aman dari keharusan mengulangi proses pengobatan, seperti teman-temanku yang kurang beruntung.

And September has come. Yang berarti aku harus datang ke RS Sardjito, ke poli tulip. Kalau saja aku bisa untuk tidak pernah lagi datang ke sana. Aku tidak ingin datang dan datang lagi ke sana. Sebagus apapun pelayanan di poli itu, sebaik apapun dokter dan para perawat di sana, masih saja tidak bisa menghapus rasa trauma dan kenangan burukku di sana. Dulu, selama aku menjalani kemoterapi, dan saat harus suntik leukoken. Dulu, berkali-kali aku datang ke sana, dalam kondisi fisik yang sakit dan psikis yang juga mungkin sebenarnya sakit. But I don't think I need a Psychiater, walaupun mungkin sebetulnya I need a Psychiater. Tapi sepertinya tidak sampai separah itu, walaupun setiap datang ke sana ada rasa tidak nyaman, tidak enak hati, takut, dan ingin secepatnya pergi dari sana. :( (Actually, I'm too weak to face the reality).

But however, I have to go there. I have no choice. And I hate this feeling. Aku benci perasaan bahwa bagaimanapun, aku harus tetap datang ke sana, bersabar menjalani semua proses pemeriksaan itu, bersabar menunggu hasilnya dengan hati cemas, takut dan galau. Aku benci dengan perasaan bahwa tidak ada pilihan lain bagiku. Inilah yang harus kujalani, selama minimal 5 tahun setelah semua proses pengobatan selesai. Aku telah menjalaninya selama 2 tahun, masih ada 3 tahun yang tersisa.

And September has come. Bulan yang penuh dengan kesibukan di sekolah, mempersiapkan siswa yang akan mewakili kabupaten, untuk maju ke tingkat Propinsi mengikuti Lomba Kompetensi Siswa Akuntansi. Tanggal 18 - 21 September besok, aku akan mendampingi siswa untuk berlomba di UNISBANK, Semarang. Sebelum itu, tanggal 10-12 September besok, aku bersama teman-teman mengadakan Workshop Komputer Akuntansi untuk seluruh guru akuntansi yang tergabung dalam MGMP Akuntansi SMK se kabupaten Cilacap. Dan sebelum itu, aku sibuk melengkapi berkas-berkas usul pengajuan penyesuaian angka kredit. Karena itu, belum terpikir kapan akan ke Sardjito.     Sebenarnya mungkin tidak harus di bulan September, hanya saja kunjungan terakhirku Maret kemarin, jadi enam bulan sesudahnya adalah September. Kapan sajalah, yang jelas aku masih harus datang ke sana.

“What Cancer Cannot Do”
Cancer is so limited…
It cannot cripple love.
It cannot shatter hope.
It cannot corrode faith.
It cannot eat away peace.
It cannot destroy confidence.
It cannot kill friendship.
It cannot shut out memories.
It cannot quench the spirit.
It cannot silence courage.
It cannot reduce eternal life.
(I think, I just have to believe it).