Mungkin, aku tahu sebabnya kenapa ada beberapa orang survivor, yang
setelah selesai menempuh semua pengobatan, kemudian tidak mau lagi
menginjakkan kakinya di rumah sakit untuk kontrol, bahkan untuk hanya
sekedar cek darah saja. Mungkin, aku tahu sebabnya (Mungkin lho ya… bisa
benar bisa tidak…bukannya sok tahu )
Mungkin, sebabnya adalah bahwa mereka tak mau kenangan buruk saat
dulu pengobatan, terutama saat kemo, muncul lagi di depan mata. Tidak
percaya ? tanyakan saja pada semua pasien poli Tulip di RSUP Sardjito,
apa yang mereka rasakan ketika mereka berjalan di selasar yang menuju
poli Tulip? Atau mungkin mereka lewat jalan kecil di depan gedung GBST,
apa yang mereka rasakan ? Bagaimana perasaan mereka ketika melewati
ambang pintu Poli Tulip, ketika berjalan menuju nurse station untuk
mendaftar ? Dua kata cukup mewakili : horor sekali. Mereka pasti
teringat ketika dulu harus berangkat untuk kemo, lalu bagaimana kondisi
fisik setelah seminggu sesudah kemo, ketika harus cek darah dan kontrol
lagi, untuk mendapatkan resep leukoken karena kadar leukosit selalu nol
koma (aku nih, yang begini), lalu harus suntik leukoken di lengan atas…
Bagiku, perasaan ketika kenangan itu dengan begitu hidup muncul kembali
di benakku, sambil aku berjalan menyusuri selasar… hanya dua kata untuk
melukiskannya: horor sekali.
OK, mungkin aku sedikit terlalu berlebihan. Tapi aku merasakannya,
dan dua orang teman kemo ku juga merasakan demikian. Kami masih sering
smsan dan saling curhat. Orang lain tidak mungkin bisa ikut merasakannya
dan mungkin bahkan takkan bisa memahami bagaimana mungkin sebuah
pengalaman buruk bisa menyebabkan trauma psikis begitu dalam. Dan
menjalani kemoterapi adalah salah satu dari sekian banyak pengalaman
buruk yang mungkin ada di muka bumi, yang bisa saja menimpa seseorang
:( . (Oh, tapi tentu saja bukan maksud saya menakut-nakuti lho… Jadi
kalau misalnya ada diantara pembaca blog ini yang diminta dokternya
untuk menjalani kemoterapi (semoga saja tidak ada, ya), jalani sajalah.
Karena bisa jadi setelah menjalani kemoterapi dengan disiplin, anda akan
sembuh, seperti saya )
Aku cerita tentang ini karena kemarin, tanggal 27 dan 28 September
2012, aku berangkat ke Yogya dalam rangka kontrol enam bulanan, sesuai
jadwal. Tanggal 27 hari kamis, aku cek darah di lab patologi klinik, usg
dan rontgen di radiologi. Perasaanku biasa saja menjalani semuanya.
Ketika usg, aku minta dengan dokter yang perempuan. Dan Mbak residennya
baik, ngajak ngobrol, dan terakhir memberitahu bahwa hasil pemeriksaan
semuanya bagus. Hasil semua pemeriksaan itu tidak bisa langsung jadi
pada hari itu juga. Seperti biasa, aku ambil hasil lab itu esok harinya,
difotokopi, lalu mendaftar ke poli tulip.
Pada saat ke poli Tulip itulah… saat berjalan di selasar… semua
kenangan masa lalu itu muncul di depan mata, begitu jelas berkelebat di
kepala, kayak di film saja
. Aku masuk poli sekitar jam 11.00 WIB bersama suamiku dan
terheran-heran, karena poli Tulip yang biasanya ramai, tempat duduknya
dipenuhi pasien dan hiruk pikuk kesibukan perawat yang mondar-mandir
dari ruang kemo ke nurse station, kemarin tampak sepi dan lengang. Hanya
ada sekitar 5 orang yang duduk di ruang tunggu, yang sedang menunggui
keluarganya yang sedang kemo. Tapi, walau terlihat sepi, aku mendapat
nomor antrian 12 untuk menemui dokterku.
Alhamdulillah, hasil labku baik semua, normal semua. Dokter hanya
meresepkan obat rutin yang harus kuminum, yaitu tamoplex dan neurodex.
Dan seperti biasa, setiap ke poli Tulip aku selalu bertemu dengan salah
seorang temanku, entah teman kemo, entah teman radioterapi, walaupun
tidak janjian dulu sebelumnya. Dan aku terkejut ketika kemarin menjumpai
bu Sulastri, dari Kulon Progo yang dulu radioterapinya bareng aku. Aku
dulu pernah ceritakan juga tentang bu Sulastri ini di judul ini : http://failasufah01.wordpress.com/2012/03/08/keep-on-fighting/
Beliau bercerita bahwa setelah mengulang kemo lagi sebanyak empat
kali untuk mengusir sel kanker yang menjalar ke livernya, kini dia harus
mengulang empat kali lagi, karena sel kankernya telah menjalar ke
tulang pinggulnya, dan beberapa waktu lalu beliau sempat tidak bisa
berjalan. Kemarin dia kontrol ke dokternya setelah menjalani kemo
pertama dari kemo seri ketiganya. Beliau berharap bahwa ini seri kemonya
yang terakhir. Beliau cerita bahwa kata dokternya kankernya ganas
sekali dan sulit untuk sembuh (kok dokternya tidak memotivasi, malah
bilangnya begitu,ya ? Untung dokterku tidak seperti itu) hampir saja
beliau tidak mau berobat lagi melanjutkan kemo lagi, karena sudah lelah,
sudah putus asa. Tentu saja. Bayangkan. Beliau kemo sudah 6 kali, lalu 4
kali, lalu 4 kali lagi. Padahal setiap kali kemo, berat sekali beliau
harus menanggung efeknya, dan juga berapa banyak uang yang beliau
keluarkan, karena beliau tidak tercover ASKES. Beliau bukan PNS, dan
bukan pula orang tidak mampu sehingga beliau merasa tidak berhak untuk
mengurus JAMKESMAS agar mendapat kartu JAMKESMAS. Padahal beliau juga
bukan orang yang kaya banget, hanya pedagang tahu yang cukupan. Beliau
berkata, untung tahun lalu saya sudah sempat menunaikan ibadah haji.
Kalau tidak, entah kapan lagi saya akan bisa….
Aku prihatin sekali mendengar ceritanya. Aku tak bisa berkata banyak.
Aku hanya bisa memintanya untuk bersabar. Dan aku katakan bahwa aku
akan mendoakannya agar kuat menjalani semuanya. Dan dalam hati aku
berdoa, agar beliau bisa sembuh dan agar selamanya aku juga sembuh. Agar
aku tidak mengalami seperti apa yang dialami Bu Sulastri, temanku itu.
Karena aku takkan sanggup. Aku tak sekuat dia. Semoga enam bulan lagi
saat aku cek up lagi, hasilnya akan sama seperti sekarang. Amin.